Yang Bernama Hati





“Assalamuallaikum..”

Kepala di angkat dari lembaran ditangan. Mata tepat disusuk yang berdiri disisi pintu bilik. Bibir tarik senyum. “Waalaikumusalam..”

Kaki menapak masuk dengan senyuman dipinggir bibir. “Menganggu?”

Kepala geleng. Lembaran ditutup dan dicium. “Kenape?” Kening terjungkit spontan.

Buku-buku In disisi katil dicapai dan dibelek perlahan.

            “Ira?”

Tangan masih membelek helaian buku. “Ira dah tak mampu untuk berlari mengejar pelangi yang makin hari makin menjauh…” Bibir tarik senyum. Kelat.

            “Kenape? Setelah sejauh ni Ira melangkah?”

Kepala di angkat. Raut wajah In ditatap. “Hidup di perantauan badainya kadang melumpuh..”

            “Setiap wajah diuji Ira..bukan kerana geografinya, tapi kerana DIA tahu kemampuan hamba-hambaNYA..”

            “..dan Ira tak kuat! Macam In..” Kepala jatuh menekur ke lantai.

Nafas ditarik. Bibir ditarik senyum. “Dan kita yang lebih mengetahui?”

Bibir bergetar. Raut wajah yang tenang dengan senyuman memaku akal. Bias mutiara jernih dipipi bagai hilang arah. Penuh bergenang, tapi tak tumpah.

            “Rabiatul Adawiyah, sebaris nama yang mengharum sejarah. Serikandi Islam..dan dia mengenal kebahagiaan dari kesengsaraan, kepahitan, dan pengorbanan. Dan kita meminta cintaNYA, tapi sering mempersoal takdirNYA. Itukah mahar kita lafazkan buatNYA? Ya, kita tak sekental, tak setabah Rabiatul Adawiyah..tapi dia juga manusia biasa yang mulanya dari tiada kepada ada. Tiada satu apa pun yang dapat memudaratkan dan memberikan kita faedah melainkan izinNYA.”

            “In…”

        “Sebenarnya kita tahu, bukan takdri yang salah, bukan kaki yang silap melangkah, bukan tangan yang salah memilih, tapi HATI kita yang sering berdalih kerana kelamnya ia dek palitan dedebu dosa dijejak hari. Kerana HATI adalah jentera yang mengemudikan dan menggerakan anggota badan kita..”

Tubuh bangkit dari kerusi. Balkoni bilik dirapati. Kepala didongak ke dada langit yang berbintang. “Setiap apa yang terjadi dalam kehidupan kita, sebenarnya kitalah yang bertanggungjawab ke atasnya. Mengapa menunding pada tangan yang tak berakal? Mengapa marah pada kaki yang  tak bermata, sedangkan akallah yang memandu dari pimpinan sang HATI.”

Kepala dipusing. Tepat disusuk tubuh yang menunduk, menekur ke lantai. “Ira..seorang abdillah itu bukannya terletak pada percakapan ia, tidak pada ayat-ayatnya, bukan jua pada berapa banyak teman-temannya, tapi sebenar-benar abdillah adalah yang JUJUR pada HATInya walau dia tahu ianya tak mampu dilihat dan diketahui yang lainnya. Namun, dia memilih untuk AMANAH, kerana mahar Tuhannya yang dia damba. Bukan pujian dan sanjungan dunia..”

Kepala di angkat perlahan. In yang tersenyum disisi dipandang. Lama.

            “Kebahagiaan itu bukan pada senyuman. Kebahagiaan itu letaknya pada HATI..dan kitalah yang mencorakknya dengan warna-warna Iman.”

            “In…”

            “Jangan takut untuk melangkah, walau kita tahu kita pasti tersungur berdarah. bukankah DIA Maha Pengasih dan Penyayang? Sesungguhnya, DIA tak kan pernah membiarkan hamba-hambaNYA menangis..”

Dakapan dieratkan. Hangat dalam kedinginan bumi Cambridge.

***********
In yang lena memeluk cik Bob dikalih pandang. ‘Terima kasih teman…’ Bibir tersenyum. Tiada lagi kepahitan, tiada lagi kesakitan, tiada lagi kekecewaan, dan tiada lagi sang gundah yang menghuni..

Dada buku diselak. Pada helaian kosong pena mula berlari meluah.

Sahabat..
Bukanlah yang ada bersama tawa.
Sahabat..
Bukanlah yang rapat tak pernah terpisah.
Sahabat..
Kadang hadirnya Cuma sekejap,
Kadang hadirnya tak berjejak,
Tapi cukup untuk menyentuh rasa,
Rasa sebenar-benar kehambaan…
Terima kasih Illahi…

HATI..
Hadirnya kadang tak disedari
Jasanya kadang tak disyukuri
Fungsinya kadang tak diendahi
Namun sering kali ianya diperguna..
Saat kecewa mula menjengah
Saat yang dihajati tak dimiliki
Saat kesedihan tak terbendung…

Duhai Sang Hati…
Maafkan diri ini yang tak pernah menjaga dan mengasihimu selayaknya engkau sebagai pengemudiku. Seringkali aku tak mengendahkan bisikanmu saat aku cuba membenarkan yang salah. Di bibir, aku mampu mencipta kata-kata indah, aku mampu mengundang tawa yang lainnya, aku mampu meraih pujian-pujian yang indah, namun hanya engkau yang tahu kebenarannya, hanya engkau yang merasa kepahitan yang aku telan..

Aku mengejar bayangan yang ternyata bukan milikku. Dan aku tersungkur lelah.. Di bibir aku menutur ini takdirNYA, pada yang lainnya aku tersenyum redha dengan ketentuanNYA, namun masih aku berlari mengejar bayangan itu. Bayangan yang sememangnya aku tahu bukan milikku.. Lihatlah betapa aku kejam padamu duhai sang hati…

Air mata yang menitis, melarutkan dakwat pena.

Aku berlari, tanpa mengetahui arah yang nak ku tuju. Aku memberi, tanpa mengerti makna ikhlas yang tersembunyi. Terlalu sibuk pada kisah yang lainnya, sehingga terlupa nak membetulkan arah jalanan ku yang makin jauh tersasar..

Duhai Sang Hati…
Dengan penuh kehinaan, maafkan aku diatas lakaran dosa-dosa yang aku parutkan padamu. Maafkan aku lena dalam mengisi kekosonganmu. Maafkan aku seringkali menafikan bisikan-bisikan kebenaranmu. Maafkan aku sering menodai kejujuranmu…

Di kesempatan ini Ya Rabbi…
Izinkan aku membalut luka yang aku toreh buatnya. Izinkan aku mengisi kekosongan yang aku biarkan lompang. Berikan kesempatan untukku Ya Rabbi..kesempatan untukku menghadirkan bahagia buatnya seandainya inilah yang terakhir kalinya…

Duhai Sang Hati…
Moga kesakitanmu kan terhakis bersama palitan Iman yang akan ku curah..

Aku yang hina,
Ira

*******

231212–nk

Comments

Popular Posts