Sampai Masa Kita Pulang
Kau berlari dikala aku menjauh.Kita
selari dalam mencipta jarak dan ruang.
Khilaf. Membawa langkah kaki yang sumbang berlari
ditengah lebatnya hujan. Dilatari melodi sendu yang ada dalam tiada. Nyanyian
pengharapan dalam asa yang kian tenggelam.
Suara yang berkumandang megah memenuhi awan,
mengajak setiap yang bersyahadah menemui Penciptanya. Rentak kaki senada
mengatur langkah. Tenang dalam rusuh. Hanya Dia Yang Maha Mengerti.
Dan kami pasti
akan menguji kamu dengan sedikit rasa takut kepada musuh, rasa lapar,
kekurangan harta, kekurangan nyawa, dan kekurangan buah-buahan. Dan berilah
khabar gembira kepada orang yang SABAR.
[2:155]
Bersama renta yang khusyuk dalam menyelami
taat sang hamba, air mata yang mengalir dibiar sepi tak lagi bertemankan sendu.
‘Sabar Ir..’ Kala dahi mencium lantai sejadah, khilaf terlayar bagai tayangan.
‘Allah..’
Telekung ditarik keluar. Getar tubuh yang
ditahan tak lagi tertahan. Birai katil dilabuh duduk. Tangis yang tersimpan
perlahan berlagu, memecah sunyinya ruang. ‘Illahi..terima kasih..’
Saat khilaf
terlakar jari mula tegak menunding; meletak salah. Lupa untuk membawa diri
bersimpuh dalam duduk yang bernama muhasabah.
Kepala didongak ke langit. ‘Tarbiyyah Mu
menuntun ku Ya Rabb. Dalam pahit yang Kau gaul menjadi manis. Walau kerap kali
aku tersungkur dalam lautan ‘tanya’ yang membawa ku jauh dari pelabuhan sabar.’
Nafas dihela. Dalam.
‘Tuhan, dalam perjalanan yang ku susuri
lelahnya menyedarkan aku rentas yang dilalui makin jauh. Jauh yang kadang terasa
dekat; saat aku bagaikan tenat menitinya sendiri. Dan mendakap Mu erat ke dada,
getarnya menghidupkan aku. Menyambung larian yang terhenti. Menggali manis
dalam pahit yang terhidang..’
Langit yang bagaikan tersenyum indah,
mengoyak senyuman diulas bibir.
‘Tuhan, sering aku rapuh meniti takdir yang
Kau lukis indah dikanvas hidupku. Dan saat telapak tangan ku tadah ke langit,
hanya secebis kekuatanMu ku pohon Ya Illahi..saat aku hanya perlukan kekuatan
itu untuk meniti takdir yang Kau lukis menterjemah keindahannya disebalik
calitan hitam kelabu yang sering membuat ku rebah dipertengahan jalan; lupa Kau
ada menemani..’
Tangis yang perlahan sepi; terpujuk. Dada
yang kian tenang disentuh lembut. ‘Moga disetiap khilaf yang datang, aku
terdidik. Terima kasih Tuhan..’
“Irsya..bernafaslah dalam nadi hamba yang tak henti belajar dalam
mencari RedhaNya.”
Ada luka yang
tergumpal
Ada tangis
yang terhenyak
Ada pilihan
untuk berteriak
Ada sebab
untuk tinggal diam
Laut tak
selalunya bergelora
Tika hujan tak
selalunya menyanyikan lagu sendu
Selagi
matahari tetap muncul menyinari
JanjiNya
pasti!
Buat hati hati
yang meyakini.
Skrin yang kosong ditatap bagai ada bicara.
Tangan perlahan dibawa lari didada keyboard.
Khilaf. Seringkali dijatuh sebab yang membawa
duka dan air mata. Seringkali juga menjadi sebab yang merentakkan sebuah
hubungan.
Dan khilaf dalam makna seorang Irsya
diterjemah dalam dua kata; jalan pulang. Saat ketika tingginya kepala didongak
ke langit khilaf datang, mengajar untuk sesekali tunduk ke tanah; membawa diri
ke jalan pulang. Saat ketika jalan yang dilalui terasa lurus padahal sebenarnya
kian bengkok, dan sekali lagi khilaf datang menuntun ke jalan pulang. Dalamnya
makna khilaf yang mengubah kaca mata seorang yang bernama Irsya.
Dalam susunan langkah meniti perjalanan yang
kelam tak terpeta yang kosong tak bertanda, hati sering lupa adanya jalan
pulang; yang menjulang sebenarnya kemenangan setelah semusim lelah yang
ditempuh. Dan khilaf datang, mengajar, menimbang, merenung, menyelami; takdir
yang terlukis itu bukan hanya sekadar palitan tawa dan tangis, kecewa dan
pasrah, buntu dan asa, lemah dan tewas.
Dijejak insan yang bernama Irsya, mengenggam
takdir dalam palitan indah tak semudah mewarna kertas kosong menjadi sang
pelangi yang cantik berwarna warni. Ada pengorbanan yang memeluk bisu agar tak
rebah pada sang tewas. Ada air mata yang melunturkan asa dalam genggaman;
membawa kaki berlari kian menjauh. Ada kecewa yang menyanyi; menghukum dalam
buntu yang terbenteng dek kurangnya sabar.
Dan bangkit
tanpa mengakui khilaf bagaikan si kulit yang lupa untuk berterima kasih pada
sang kacang.
Saat khilafmu aku nampak; aku terbuta akan
hakikat lorong yang membawa khilaf itu adalah aku. Saat khilafmu merenta dalam
ke hatiku, aku lupa garit garit luka yang aku tinggalkan merenta hatimu tanpa
maaf. Untuk setiap khilaf dan goresan luka itu yang kini membawa aku ke jalan
pulang; maafkan aku..
Kau bagaikan
kompas yang menyedarkan aku arah jalan pulang itu mesti dijejaki saat ia tak semudah jalanan kehidupan.
Rapuh meniti khilaf dalam titian usia yang
kian usang, sabarmu mengajar aku erti sayang. Melebur amarah dan ego dalam
simpuhan muhasabah yang menjadikan aku menunduk ke tanah; bersyukur.
Sampai masa
kita pulang.
Pada ruang yang masih tersisa, aku melukis
sang pelangi untuk aku warnakan dengan calitan warna warni agar keindahannya
akan menuntun hati saat kaki mula berlari sumbang, menongkah langkah saat asa
kian tenggelam, mengingatkan diri yang seringkali rapuh, ada jalan pulang yang
harus aku tempuh.
Pada pelangi yang aku warnakan moga mampu
menjadi penawar saat diri ini mengguris hati mu umi dan abah. Pada pelangi yang
aku warnakan moga mampu menjadi pengubat saat kau lelah meneladani aku
dijalanNya abang. Pada pelangi yang aku warnakan moga mampu membuatkan aku
teguh menuntun amanatMu menjadi serikandi yang Kau redhai. Pada pelangi yang
aku warnakan moga mampu menjadikan aku setia saat aku teruji dek ombak yang
sesekali memukul ketenangan pantai. Kerana ku tahu Kau bersamaku..
Sampai masa kita pulang, moga aku lah
bidadarimu disana nanti. InsyaAllah..
Sitting in the dark
You’re the answer when I prayed
All I want is to hold you forever
All I need is you more ever day
You’re the reason
My faith in tomorrow
A distant horizon
That I miss a lot
You’re the first
You’re the last
–nk
Comments
Post a Comment